Jumat, 09 September 2011

Lilin Kecil : Sebuah Harapan untuk Maju


1


Suara-suara itu masih membahana. Terik matahari terpecah seketika saat suara-suara itu mendominasi. Hari itu adalah hari ketujuh sejak awal masuk semester baru bagi anak sekolahan—termasuk untuk yang SMA. Jalan yang jika hari-hari biasa penuh dengan lalu-lalang mobil dan para pejalan kaki yang hendak ke pasar dan supermarket—atau bahkan memang sengaja untuk jalan-jalan mencari tempat makan demi memenuhi panggilan perut.
Kali ini tidak. Jalan yang terbentang dikuasai oleh pelajar dari dua sekolah yang berbeda. Seragam putih abu-abu mereka mengesankan bahwa pada jam-jam segitu pastilah baru saja pulang sekolah. Tas yang awalnya sebagai tempat isi beberapa buku dan alat tulis kini berfungsi ganda. Sebuah pukulan melayang dari seorang—bahkan beberapa pelajar yang menyulap tas mereka layaknya sarung tinju.
Keriuhan dan sorak-sorai terdengar disana-sini. Beberapa warga awam yang kebetulan lewat—mengurungkan niatnya. Mereka akan jauh lebih baik menyingkir dan menahan perut mereka untuk memutar demi mencari tempat makan yang lain. Teriakan dari masyarakat awam semakin menambah keramaian disana.
Aku—sebagai salah satu orang yang terlibat disana masih gigih mempertahankan posisiku. Eits, tunggu dulu! Aku bukan masyarakat awam yang kalian sangka—apalagi orang yang keburu menahan rasa laparnya demi tidak jadi makan di rumah makan sepanjang jalan sana. Aku adalah orang yang salah satunya membuat keributan dan ketidakjelasan itu terjadi.
Yoga—salah seorang temanku yang sama-sama dari satu SMA denganku. Sesekali aku mengawasi kehadirannya—aku merasa lega ketika dia begitu lincah menghindari setiap lawan yang dihadapinya. Bahkan—ia dengan begitu lihai melindungi gitar yang dibawanya. Ah, bagiku—gitar tersebut sebenarnya bisa menjadi alat pukul untuk punggung—atau bisa saja sebagai pembelamu dengan menyerang dagu lawan dengan ujung gitar.
Suasana memuncak ketika pihak lawan mengeluarkan sebilah pisau lipat. Lawan tersebut adalah orang yang kini kuhadapi. Aku tergelak sekejap. Langkahku mundur beberapa langkah; menghindari dengan mencari strategi lain. Tapi dia keburu cepat menyerangku. Seperti yang kukatakan sebelumnya—gitar yang juga kupegang akan menjadi pelindungmu dengan sangat ampuh! Aku menyulap gitar tersebut menjadi tameng ajaib. Sayang, sebagai gantinya gitar tersebut terluka pada bagian sisi. Dia tampak kesulitan mencabut pisau yang tertancap disana. Tanpa nyana—aku menendang tengkuknya dan meninju wajahnya. Dia sempoyongan seketika dan akhirnya tersungkur ke belakang.
“Ayo maju! Halah, Cuma segitu saja masih mau nggertak?”
Secepat kilat dan beruntung pendengaranku tajam—ketika angin membisikkan bahwa ada sebuah sayatan yang membelah udara yang tertuju ke arahku. Aku mengelak—lebih tepatnya ada seseorang yang membantuku. Dia adalah Yoga. Yang akhirnya melawan dia dengan segera, namun pada akhirnya ia terhantam pukulan yang melesat di perutnya.
“Yoga!!”
“Hei!” Amarahku memuncak. Kuangkat tubuhnya dengan mencengkeram kerah bajunya dan menariknya. Tapi tidak untuk membantunya berdiri—karena seketika itu pula—aku memukul wajahya hingga berulang kali. Dia tampak kepayahan.
Ketika lawanku kepayahan—barulah aku menyapu pandangan ke sekelilingku. Keributan ini merajalela. Padahal biasanya hanya sebatas perkelaian yang terjadi antara dua SMA—tanpa melibatkan masyarakat sekalipun! Tapi untuk kali itu, aku melihat ada seorang anak kecil menangis di tengah-tengah keributan. Berniat untuk menyingkirkan anak tersebut dari serangan yang lainnya—seseorang nyaris saja merobohinya jika aku terlambat sedikit saja!
Aku mendekapnya. Tapi tangisan anak itu masih saja terdengar. Justru semakin keras.


6 komentar:

konsultanlingkungancilacap mengatakan...

yg kedengeran janggal:
sekolahan
segitu
SEORANG bahkan BEBERAPA PELAJAR
keburu
SAMA-SAMA dari satu sma DENGANKU
merobohinya

Riani mengatakan...

kata-katanya bagus mba, keren, jalan ceritanya juga ok, buat seorang penulis cerita awal itu yang terpenting, kalau cerita awalnya udah biasa aja dan gak bikin penasaran, udah deh gak ada yg mau lanjut baca. dan cerita mba awalnya udah bagus, gak biasa, bikin penasaran yg baca, tapi ada yg ganjal di bagian parag. 7 itu ceritamya agak gak mudengin sih kalo kata gilang, hehe... itu aja mba, maaf kalau ada yg keliru comennya :)

Unknown mengatakan...

jln critanya enak diikutin...tp kalimatnya msh ada kata2 yg g perlu p ya, jd agk ribet mbaca'y...ni msh da lnjutan'y kan..kaya'y asik menunggu lnjutan crita'y..terus berkarya,,,,

Maretha R mengatakan...

@desinta: makasih ya De, uda sekalian ngedit2 bagian yang keliru... ntar aq perbaiki. :-)

Maretha R mengatakan...

@Gilang: makasih ya Lang buat komen'a... yang pargh.7 ya? hahaha, bingung atuh mba'a nyusun kalimatnya, akhirnya yang muncul kalimat itu. kayak sayatan pisau itu lho, pasti kan ada suaranya "ssssshhhh" gt, haha.

Maretha R mengatakan...

@Anas: maksih jg y uda mbaca, tenang itu ada lanjutannya kok. terus ikuti ya... :-)