Jumat, 14 Oktober 2011

Lilin Kecil: Sebuah Harapan Untuk Maju




2

Segerombolan burung camar terbang membumbung di angkasa. Mereka membentuk huruf V. Kutatap langit jingga dengan hati dan fisik yang lelah. Yoga telah pulang ke rumahnya. Jarak rumah kami tidak dekat, tapi sejalur. Rumahku masih jauh dari tepian kota dibandingkan rumahnya.
Nyanyian antara sepatu yang beradu dengan tanah yang becek karena hujan tadi pagi membuat semaraknya sore itu. Jika biasanya aku masih mendengar suara jangkrik dan bunyi hewan penyambut malam lainnya bersenandung, maka sore itu aku hanya mendengar suara mesin yang akan dimatikan dari ujung sana. Maklumlah, daerah sekitar rumahku tengah dibangun sebuah pabrik. Entah pabrik apa.
Namun, aku yakin kami semua tidak pernah setuju dengan pembangunan itu. Sudah cukup bagi kami hidup dengan barang rongsok dan sampah yang berserakan. Kini kami harus berbagi udara dengan para kontraktor itu. Yang benar saja, hidup bersama sumber polusi sama saja setor nyawa.
“Neng Wina baru pulang?”
Aku hanya membalasnya dengan seulas senyum. Tapi berikutnya aku melihat tingkahnya yang tengah memaksa anaknya untuk mandi seperti menggiring kambing peliharaannya. Tentu saja anak lelakinya semakin tidak mau menuruti. Aku hanya mengangkat kedua bahuku ketika akhirnya sang anak itu melarikan diri dan berlari menghindar.
Aku semakin tersenyum kecut melihat pemandangan yang tidak layak ini. Banyak warga daerah sini yang memperlakukan anak-anaknya demikian. Ah, aku sendiri tidak tahu—mungkin saja itu bentuk cinta orang tua pada anak-anaknya?
Ah, sial. Kakiku nyaris saja terpeleset gara-gara meleng tadi. Akhirnya, sekarang aku harus lebih berhati-hati menyusuri jalan menuju rumahku yang masih melewati beberapa petak rumah warga. Rumahku berada di sudut kecil daerah pesisir pantai kota kecil—yang sebenarnya menurutku daerah tempat tinggalku tidak pantas dikatakan desa. Lingkungan tempat tinggalku kotor. Penuh dengan tumpukan sampah di setiap sudut. Rumah petak yang tidak layak huni. Rumah petak yang membuat keluarga di dalamnya kerap kali was-was ketika ada badai hujan—atau mungkin turun hujan deras tanpa badai—namun semua itu akan fatal bagi kami. Dinding dari anyaman bamboo membuat kami terpaksa menahan dinginnya angin ketika menerpa melalui celah dinding. Membuat kami repot dua kali repot ketika atap tidak mampu menahan rintikan air hujan. Dan parahnya—jalanan akan selalu becek ketika usai hujan. Banjir? Yah, itu makanan pokok kami ketika musim hujan tiba. Diare dan gatal-gatal adalah lauknya.
Seperti tadi pagi. Hujan turun walau tanpa badai dan deras. Tapi cukup membuat daerahku ini begitu fatal. Rute jalanan masih becek. Busuk sampah tidak kalah menyengat. Sampah yang lembap, dan mencakup semua jenis sampah.
Jika sebelumnya aku masih menutup hidung dan ogah berbagi udara dengan sampah-sampah itu—kini tampaknya aku sudah mulai terbiasa. Mau bagaimana lagi—jika tumpukan sampah itu terus mendesakmu untuk berbagi tempat tinggal? Bukankah lambat laun dia akan menjadi tetanggamu? Huh, ayolah,” tetangga” katamu?
Pertama kali kami kesini, tempat ini masih dapat dikatakan layak huni. Namun beberapa tahun terakhir, karena banyaknya pabrik yang berdiri di sekitar pemukiman ini membuat kami tidak dapat berbuat banyak. Kami memilih diam, walau sebenarnya kami tidak setuju sama sekali. Tapi punya hak apa kami? Yah, kalian benar. Aku dan keluargaku adalah orang perantauan. Kami tidak mengadu nasib untuk mencari kehidupan yang lebih baik dari kampung halaman kami. Kedua orangtuaku meninggalkan kampung halaman mereka setelah berdebat hebat dengan orang tua dari ibuku. Saat itu usiaku masih balita, aku masih belum mengerti. Dan nyatanya, kehidupan orang kampung macam kami inilah yang akhirnya hanya menambah jumlah kriminalitas saja.
“Mba Winaaa…!!” Lamunanku terbuyar oleh riang suara anak kecil dari ujung jalan. Sinar matahari sore menyorot sosok tubuhnya yang kecil mungil. Rambut panjangnya terlihat berkilauan. Sosok yang cantik.
Ya, adikku. Baiklah, apa sebelumnya kalian mengira aku adalah anak tunggal? Aku anak tertua benar, saudaraku hanya satu, yaitu adik perempuanku. Tahun ini ia naik kelas 3 SD. Gadis kecilku begitu lincah dan pintar. Kadang aku menyisir rambut hitam panjangnya ketika sore sehabis dia mandi. Kulitnya putih. Ia tampak sangat cantik ketika mengenakan gaun putih. Yah, itu hanya anganku memang. Dalam dunia nyata, aku belum pernah melihatnya memakai gaun putih yang cantik. Aku pernah memimpikannya. Dan dalam anganku, dia memang benar-benar sangat cantik.
Aku selalu tersenyum mengingat adikku yang begitu sempurna. Tapi ketika melihat anak kecil itu berjingkrak-jingkrak senang, roma wajahku berubah seketika. Sesuatu hal yang tidak bisa dipungkiri. Sesuatu hal nyata yang memang harus diterima dengan lapang dada. Yah, adikku tidak selincah seperti yang terlihat. Dia tidak pula sesehat anak seusianya. Dia begitu lemah. Namun, aku seringkali menganggapnya kuat. Yah, dia memiliki kemauan yang kuat. Aku sayang padanya.
Apakah ini perlu kuungkapkan? Aku rasa kalian begitu paham rasa sayang seorang kakak pada adiknya. Mungkin di lain kesempatan akan kujelaskan arti sayangku ini.
Tia—gadis kecilku masih melambaikan tangannya padaku. Aku tersadar akan anganku sendiri. Pada detik itulah, semua rasa lelahku seharian ini terasa hilang. Rasa letih di kedua bahu dan kedua kakiku lenyap seketika. Aku tersenyum membalas lambaian tangannya yang begitu semangat menyambutku. Kukejar sosoknya yang masih berdiri disana—dengan lincah kususuri jalanan yang becek.
Dia tertawa ketika aku memeluk tubuh mungilnya. Aku menggelitiki tubuhnya, ia semakin tertawa menahan geli. Sekilas, aku mengangkat tubuh mungilnya. Lalu, ia memandangku sekejap.
“Mba Wina bauuu…” Ia menutup hidungnya—entah ia memang benar-benar mengatakan demikian atau sekeder meledekku. Balasannya, aku semakin memeluk tubuh mungilnya dengan erat. Ia semakin menjerit acting.
“Heei,, apa yang kalian lakukan? Sudah maghrib begini teriak-teriak!”
Alhasil, kami ditegur oleh Pak Adi—pria yang dikenal paling galak di daerah ini. Ia memutuskan untuk duduk berselonjor di bilik rumahnya. Pandangannya masih menatap tajam ke arah kami—seolah memang mengisyaratkan kami untuk enyah.
“Ya, ya, baiklah.” Aku menjawabnya tidak kalah ketus. Sial, dia berhasil memanggil kembali rasa penat dan lelah yang sempat lenyap. Kuturunkan tubuh adikku, lalu kugandeng tangan kanan mungilnya. Walau kami berlalu, mulutku masih komat-kamit merutukinya. Pak Adi pembawaannya memang selalu begitu. Dia galak. Memang. Tapi kisah hidupnya tidak sebanding dengan karakternya. Ia hidup sebatang kara. Pria itu ditinggal pergi oleh istrinya. Anak-anaknya yang sudah sukses lupa menjenguknya. Sekilas, aku menengok ke belakang. Itulah kebiasaannya. Ia selalu duduk menjelang Maghrib sampai Isya. Duduk di bilik rumahnya, menghisap rokok sambil duduk berselonjor. Kata orang—sebenarnya ia tengah menunggu seseorang. Entah siapa. Aku juga tidak tahu bagaimana ceritanya kenapa pada waktu-waktu itu yang dipilihnya.
“Mba, tadi ada guru Mba yang kesini lho!”
Suara adikku membuyarkan duniaku. Dia memandangku sambil mendongakkan kepalanya. Aku mengernyitkan kedua alisku. Maka, dia yang paham maksudku, langsung melanjutkan kalimatnya.
Kepalanya botak, orangnya gendut, kumisan. Kumisnya tebeeeeellll banget!”
“Pak Kirno?” Aku langsung menebak.
“Iya, betul! Dia lama lho nungguin Mba.”
“Kamu tuh, gitu-gitu kan Om-mu juga.”
“Hehehe, kan ngetes Mba.”
“Ngapain Pak Kirno ke rumah? Kurang kerjaan tuh orang.”
“Dia ngobrol lama Mba sama Ibu.”
Aku hanya diam. Dari cerita adikku—Pak Kirno kali ini datang sebagai wali kelasku, bukan sebagai ikatan saudara. Walau begitu, dibenakku masih saja sibuk menebak-nebak gerangan wali kelasku datang untuk urusan apa. Karena biasanya wali kelasku akan datang untuk keperluan tertentu saja. Hmm.. apa kali ini aku berbuat ulah? Aku mengingat catatan sekolahku—rasanya aku belum ingat tingkah apa yang sampai mengundang Pak Kirno membelakan diri ke daerah yang tidak layak huni ini.
Koe yo piye, aku kuwe bali mbengi nggo ko! Masih ora percaya iku pie? Bojo macam apa koe?!” 1
Langkah kami berdua berhenti tepat di halaman depan rumah kami. Sosok yang pertama kali kami tangkap adalah siluet tubuh seorang pria bertubuh besar. Di tangannya tergenggam sebotol minuman. Tubuhnya sempoyongan. Kalimatnya selalu berantakan. Wajahnya memerah dan wajah orang yang setengah sadar. Di saat itulah, aku merasakan adikku mengeratkan genggamannya di tanganku. Aku bisa merasakan kecemasan dan ketakutan yang dialami oleh adikku. Maka, kubalas genggamannya dengan erat. Tapi kurasa hal itu tidak cukup, justru di saat itulah, kedua orang itu mulai berteriak lebih keras lagi. Seorang wanita itu kalah dalam perdebatannya dan ia menangis tersedu. Pria tersebut masih mengucapkan kata-kata kasarnya sambil sesekali menenggak minumannya.
Maka, kututup kedua telinga adikku dengan kedua telapak tanganku. Hatiku miris melihat kejadian ini. Hatiku sakit mengingat kedua orang itu tidak pernah berhenti bertengkar.
Pak, koe siki arep ming endi maning? Wes mbengi Pak,! Wes mbengi!” 2
Aaaahhhhh.... urusan apa koe? Ngurus awakmu dhewe be koe ra becik, arep ngurus aku! Minggir, aku rep nggolet duit! Hahahaha.3
Pria itu berjalan meninggalkan wanita tersebut di serambi rumah. Langkah pria itu mendekati kami yang tidak bergeming sedari tadi—seolah-olah memang kami datang untuk menonton pertunjukkan yang sangat tidak membosankan itu.
Woi, gadis-gadisku, minggir kabeh. Kie ramamu arep nggolet duit! Okeh? Hahaha. Kae, urus biyungmu bae. Nangis bae saben dina. Nggawe wong puyeng bae. Oke? Hahaha.” 4
Tanpa bergeser sesentipun—pria tesebut tidak kesulitan untuk pergi. Sekilas, lengannya menyenggol lenganku. Ia pergi. Menuju ke sebuah tempat yang menurutnya menjadi tempat mencari nafkahnya untuk kami. Tapi aku tahu—bahwa tempatnya mencari nafkah yang dimaksudnya bukanlah uang yang halal. Aku tahu pria itu berjudi. Aku tahu pria itu selalu mabuk-mabukkan. Tidak pernah aku mendengar pria itu mengucapkan kata sayang dan cintanya.
Siluet tubuh seorang wanita di ujung sana membuatku semakin sakit hati. Pria itu memang benar. Benar jika wanita itu selalu menangis sepanjang malamnya. Tapi aku juga tahu—air mata itu bukanlah air mata keputusasaannya. Dia adalah wanita yang tajam kata-katanya, namun aku tahu—dia adalah wanita yang tegar. Mungkin aku bisa gila menghadapi dan hidup bersama dengan seorang pria penjudi dan pemabok, serta dengan beban dua orang anak perempuan. Tapi wanita itu tidak.
Ya, wanita dan pria itulah kedua orangtuaku.
Ayahku yang berantakan, dan Ibuku yang seorang pelayan bar. Tidak buruk memang. Tapi cukup risih ketika semua orang melihat lekuk tubuh ibumu.
Inilah keluargaku—dan hidupku.

Senin, 19 September 2011

Lilin Kecil: Sebuah Harapan untuk Maju


1


Suara-suara itu masih membahana. Terik matahari terpecah seketika saat suara-suara itu mendominasi. Hari itu adalah hari ketujuh sejak awal masuk semester baru bagi anak sekolahan—termasuk untuk yang SMA. Jalan yang jika hari-hari biasa penuh dengan lalu-lalang mobil dan para pejalan kaki yang hendak ke pasar dan supermarket—atau bahkan memang sengaja untuk jalan-jalan mencari tempat makan demi memenuhi panggilan perut.
Kali ini tidak. Jalan yang terbentang dikuasai oleh pelajar dari dua sekolah yang berbeda. Seragam putih abu-abu mereka mengesankan bahwa pada jam-jam segitu pastilah baru saja pulang sekolah. Tas yang awalnya sebagai tempat isi beberapa buku dan alat tulis kini berfungsi ganda. Terbukti dengan beberapa pelajar yang menyulap tas mereka layaknya sarung tinju.
Keriuhan dan sorak-sorai terdengar disana-sini. Beberapa warga awam yang kebetulan lewat—mengurungkan niatnya. Mereka akan jauh lebih baik menyingkir dan menahan perut mereka untuk memutar jalan demi mencari tempat makan aman yang lain. Teriakan dari masyarakat awam semakin menambah keramaian disana.
Aku—sebagai salah satu orang yang terlibat disana masih gigih mempertahankan posisiku. Eits, tunggu dulu! Aku bukan masyarakat awam yang kalian sangka—apalagi orang yang keburu menahan rasa laparnya demi tidak jadi makan di rumah makan sepanjang jalan sana. Aku adalah orang yang salah satunya membuat keributan dan ketidakjelasan itu terjadi.
Yoga—merupakan salah seorang temanku yang satu SMA denganku. Sesekali aku mengawasi kehadirannya—aku merasa lega ketika dia begitu lincah menghindari setiap lawan yang dihadapinya. Bahkan—ia dengan begitu lihai melindungi gitar yang dibawanya. Ah, bagiku—gitar tersebut sebenarnya bisa menjadi alat pukul untuk punggung—atau bisa saja sebagai pembelamu dengan menyerang dagu lawan dengan ujung gitar.
Suasana memuncak ketika pihak lawan mengeluarkan sebilah pisau lipat. Lawan tersebut adalah orang yang kini kuhadapi. Aku tergelak sekejap. Langkahku mundur beberapa langkah; menghindari dengan mencari strategi lain. Tapi dia keburu cepat menyerangku. Seperti yang kukatakan sebelumnya—gitar yang juga kupegang akan menjadi pelindungmu dengan sangat ampuh! Aku menyulap gitar tersebut menjadi tameng ajaib. Sayang, sebagai gantinya gitar tersebut terluka pada bagian sisi. Dia tampak kesulitan mencabut pisau yang tertancap disana. Tanpa nyana—aku menendang tengkuknya dan meninju wajahnya. Dia sempoyongan seketika dan akhirnya tersungkur ke belakang.
“Ayo maju! Halah, cuma segitu saja masih mau nggertak?!”
Secepat kilat dan beruntung pendengaranku tajam—ketika udara terbelah oleh sayatan pisau. Seseorang tengah melayangkan sebilah pisau padaku. Aku mengelak—beruntung ada seseorang yang membantuku. Dia adalah Yoga. Yang akhirnya melawan orang itu dengan segera, namun pada akhirnya sahabatku terhantam pukulan yang melesat di perutnya.
“Yoga!!”
“Hei!” Amarahku memuncak. Kuangkat tubuh orang sialan itu dengan mencengkeram kerah bajunya dan menariknya. Tapi tidak untuk membantunya berdiri—karena seketika itu pula—aku memukul wajahya hingga berulang kali. Dia tampak kepayahan.
Ketika lawanku kepayahan—barulah aku menyapu pandangan ke sekelilingku. Keributan ini merajalela. Padahal kupikir tidak akan separah ini. Yang seharusnya hanya sebatas perkelaian yang terjadi antara dua SMA—tanpa melibatkan masyarakat sekalipun! Kedua mataku tertahan oleh siluet tubuh anak kecil yang tengah menangis di tengah-tengah keributan. Niatku yang ingin menolongnya mendorongku untuk berlari lebih cepat menghampirinya.
Aku mendekapnya. Tapi tangisan anak itu masih saja terdengar. Justru semakin keras. Ah, kalau aku tega saja pasti aku segera mencari sapu tangan untuk menyumpal mulutnya. Tapi pertama, hal itu tidak kulakukan karena aku memang bukan tipe cewek yang menyimpan sapu tangan—dan cowok yang biasa menyimpan sapu tangan kini tampak celingukan. Apa yang dipikirkannya?
“Wina, cepet kita kabur!” Orang celingukan yang kuperhatikan tadi memberiku kode.
“Heh?”
Aku baru sadar ketika suara itu membahana dan memecah terik matahari siang itu. Suara sirine yang begitu merdu bagi para pak polisi tapi membuat jantung berdegup kencang saking khawatirnya bagi kami!
Tanpa kata, Yoga meraih tanganku dan menariknya. Seketika pelukanku dengan anak kecil itu terlepas begitu saja. Justru di saat itulah, dia berhenti menangis dan seorang wanita yang usianya menginjak kepala tiga memberanikan diri menerobos keramaian yang masih ricuh itu dan menarik anak laki-laki tadi. Barulah aku bisa tenang sekarang dan segera melihat arah jalanku dan tidak lagi menengok ke belakang; setidaknya anak itu selamat!
“Gimana temen-temen kita yang lain?”
“Nggak ngerti! Pokoknya kita kabur dulu. Mereka juga bukan orang bodoh yang nggak bisa lari kan?”
Di saat begini—Yoga memang terkadang pintar. Kelegaan itu mendorongku untuk menyeimbangkan kecepatan lariku dengannya yang jujur—tungkai kakinya begitu panjang. Dia tinggi—tapi juga kurus. Ah, kalian bisa membayangkan dia seperti apa. Angin melambaikan rambut hitamnya yang pendek. Kadang aku merasa greget dengannya yang kerap kali harus dipanggil oleh Wakil Kedisiplinan Sekolah—Pak Amir—kalian tahu karena apa? Bukan, bukan karena dia tidak mengerjakan PR atau membuat onar—yah—walau tebakan yang terakhir ada kalanya benar. Tapi yang ini sungguh-sungguh. Dia dipangil hanya karena memanjangkan rambutnya! Hwahahaha, saat itu pula aku tertawa paling keras. Dia memang mengidamkan sejak lama punya rambut panjang. Katanya sih ingin meniru artis luar negeri dan para musisi yang aku lupa siapa saja nama mereka. Walau kami sama-sama punya gitar, dan bernyanyi bersama—tapi jiwa musisi begitu kental dengan dirinya. Istilahnya, aku hanya sebagai penggembira hobinya saja.
Kami berhenti di halte bus. Kurasa dia menyerah untuk urusan larinya sekarang. Aku bisa menebak karena tadi dia belum sempat memanfaatkan betul-betul jam istirahatnya karena harus berurusan dengan Wakil Kedisiplinan Sekolah—tentang apa? Yap, betul sekali! Rambutnya! Oh, jangan salah. Rambutnya detik ini memang pendek, itu karena tadi kesabaran Pak Amir sudah di atas batas. Ia memangkas pendek rambut Yoga saat itu juga. Tanpa tolerir seperti sebelumnya! Dan hasilnya, aku tertawa lebih keras dari biasanya.
“Gila, rupanya mereka bawa anak buah. Sialan.”
“Hahaha, tapi untung aku hebat kan, bisa membantumu.”
“Dasar. Tadi juga kamu nyaris kena kan? Argh, mereka benar-benar sialan. Awas saja.”
“Ckckck, baiklah, penyelamatku, terima kasih. Apa kamu puas sekarang?” Aku menyenggol lengannya dan menggodanya. Tapi dia masih cemberut dan kesal sisa kejadian tadi. “Hei, ayolah, masih kesal? Hmm, sebenarnya seberapa cantiknya sih dia?”
“Maksudmu Riri?”
“Oh, jadi namanya Riri?” tanyaku polos. Tapi dia langsung menghardikku.
“Aizzhh, sudahlah, lupakan.”
“Kenapa?”
“Aku sering cerita padamu tentang ini kan? Masa namanya saja kamu lupa. Benar-benar deh.”
Kali ini kekesalan Yoga bertumpuk kali lipat. Dia menengok ke ujung jalan memastikan bahwa bus yang akan dinaikinya segera datang. Tapi selain mobil dan motor, bus yang kami tuju belum kelihatan batang hidungnya.
Tanpa sadar, anganku melayang jauh. Yoga memang benar. Dia sering atau katakanlah bukan barang baru ia menceritakan gadis itu. Tapi untuk urusan nama—aku nyerah. Baiklah, namanya Riri. Kali ini, akan kuingat, apa kau puas Yoga? Hahaha!
Tapi yang membuat kami tidak berpikir panjang adalah mereka ternyata membawa anak buah. Awalnya Yoga memang disuruh untuk menemui mereka. Untung saja saat itu, kami tidak sedang berdua. Kami berlima yang kebetulan memang tumben sekali mau makan siang di warung siomay-nya Bang Apit yang katanya enak itu. Ah, sial memang. Kami pikir, mereka bisa menolerir dan mempersilakan kami untuk mengisi perut kami masing-masing, tapi tiada ampun. Tanpa babibu, Hija teman SMP kami dulu, langsung mengeroyok kami dan memanggil anak buahnya. Dia memang terkenal premannya di sekolah kami dulu. Dan, kami memang sangat berteman baik dengannya. Tapi karena seorang cewek, hubungan kami memburuk. Cewek yang belakangan baru kuingat namanya—Riri—dicurigai selingkuh sama Yoga! Gila nggak tuh! Selingkuh darimana coba, orang Yoga pagi, siang, sore sama aku terus. Untuk malam? Hmm, kami memang pulang ke rumah masing-masing sih. Masa iya, cewek itu nekat ke rumah Yoga? Tentu saja ini salah paham. Padahal kami berniat untuk menemui mereka hari ini dengan niat baik-baik, tapi dasar Hija—emosinya masih mental tempe, nggak pernah dewasa dan nggak pernah pintar. Grrr...!!
“Kita numpang aja di bus.”
“Mau sekalian ngamen disana?” tanyaku cepat—tapi jawabannya kurang memuaskan. Dia tampak menimbang sesuatu.
“Nggak tahu. Kalo iya, kamu nggak apa-apa ngamen belum ganti baju?”
Tuh kan apa kataku. Dia memang terkadang pintar. Seraya menunggu bus kami—aku memikirkan usulannya sejenak. Mengamen memang bukan barang baru bagi kami. Tepatnya sejak aku masuk SMA. Sementara Yoga—dia memang sudah melakukannya sejak duduk di bangku SMP. Karena faktor keluarga, dia harus membanting tulang lebih keras dan rajin dibanding anak-anak seusianya. Awalnya, aku hanya bergurau dan iseng mengekornya tiap kali pulang sekolah. Tapi belakangan, itu menjadi jadwal rutinku dengannya. Dengan catatan; kami selalu menyimpan baju ganti di tas dan mengganti pakaian kami kalau mau mencari nafkah semrawut ini.
“Ah, sudahlah, aku sudah tahu jawabanmu kok.”
“Memangnya apa?”
“Itu bus kita datang. Ayo.”
“Hei, curang. Jawab dulu dong.”
Yoga hanya tersenyum. Sebagai gantinya, dia kembali meraih tanganku dan menggandengku untuk naik ke dalam bus yang membuatku tercengang. Tentu saja karena saking sepinya penumpang! Maksudku bukan benar-benar tidak ada penumpang. Tapi dibanding dengan bus yang pernah kami naiki sebelumnya untuk urusan mengamen—bus selalu penuh dengan jejalan orang yang baru pulang aktifitas. Entah untuk hari ini. Padahal ini adalah waktu aktifitas yang biasa kami lakukan.
Yoga menyuruhku duduk yang jarang sekali aku mendapatkannya. Paling banter aku memperoleh jatah pegangan besi di langit-langit bus—selebihnya hanya bertumpu kedua kaki dan tangan hanya sekenanya mencengkeram bagian atas bangku bus.
Dia berdiri di tengah jalan diantara bangku yang berjejer kanan-kiri. Posisi kakinya telah ia posisikan sedemikian rupa untuk menahan berat tubuhnya agar tidak sial—kalau-kalau bus mengerem mendadak atau belok di tikungan dan menancapkan gasnya setelah berhenti di lampu merah. Sementara gitarnya telah ia miringkan 30 derajat—posisi yang katanya nyaman untuknya memetik gitar.
“Selamat siang Bapak, Ibu, Mba, Mas, ijinkan saya menghibur Anda sejenak. Tenang, saya tidak akan menyanyikan lagu rock atau semacamnya. Tapi saya harap kalian suka dengan laguku. Dan—sebuah lagu ini khususnya kutujukan untuk seorang gadis yang duduk di dekat jendela sana.”
Seketika semua perhatian tercurah padaku. Aku langsung salah tingkah menanggapi tatapan mereka akibat ulah Yoga yang diluar dugaan. Seulas senyum tipis terlukis di wajah mereka walau aku berhasil menangkap seraut wajah yang datar-datar saja.
Mereka berbalik dan tidak berniat menatapku lama. Kurutuki Yoga sedemikian rupa. Tapi dia tidak sedang memandangku. Ketika tatapan kami bertemu, rutukan itu lenyap. Akhirnya, aku tersenyum padanya. Kuakui, diantara derungan suara mesin mobil dan teriakan kenet yang lantang namun cempreng—suara dawai gitar Yoga mengalun lembut. Suara emas yang dimilikinya terdengar begitu merdu. Ah, teriakan kenet bus itu bukan tandingannya! Hmm—setara vokalis Pasha Ungu! Hahaha, itulah yang selalu ia katakan padaku. Aku hanya menurut saja. Bagiku asal dia senang—aku siap mengakuinya walau sebenarnya aku buta sejumlah band yang beredar ramai di Indonesia.
Yang membuatnya unik—dia lebih sering menyanyikan karya ciptaannya sendiri. Karya orang lain hanya disisipkan saja sebagai pengenal untuk konsumennya. Seperti sekarang, dia menyanyikan sebuah lagu yang seringkali kutanyakan apa judulnya, dia selalu menjawab belum ada judul. Gimana nggak dongkol? Padahal itu adalah lagu tersering yang ia nyanyikan sepanjang sejarah kami mengamen. Hahaha!
Dia tidak berniat menyanyikan 2 buah lagu. Seusai ia menyanyi, ia langsung mengedarkan topi usang kesayangannya sebagai tempat uang receh yang syukur-syukur ada lembarannya. Saat topi itu tiba di bangkuku, dia memberi aba-aba melalui ekspresi wajahnya agar aku juga sama mengeluarkan sejumlah uang untuknya. Aku membalasnya melalui ekspresi wajahku pula; mengelaknya. Ternyata aku dan dia sama-sama tidak mau kalah. Baiklah, aku menurut. Kurogoh saku rokku sebelah kanan, seingatku disana ada uang kembalian saat aku jajan siomay di kantin tadi. Tepat ketika aku akan memasukkannya ke dalam topi, dia dengan sigap mencegahnya. Menarik cepat topinya dan beralih pada bangku lain. Sialan, dia mengerjaiku!
Kubuat perhitungan padanya seusai dia mengedarkan topinya untuk semua penumpang. Dia duduk di sampingku dan tersenyum lebar padaku. Padahal aku ingin menjitaknya, tapi dia berhasil mengurungkan niatku dengan menyodorkan sejumlah uang.
“Apa ini?”
“Masih tanya, itu uang untuk bayar bus kita nanti.” Dia memakai kembali topinya dengan ujung terbalik. Aku hanya tertawa kecil; menangkap kalau ia kehabisan uang dan memutuskan untuk ngamen demi uang bus yang harus kami bayar nanti. “Hufht, kurasa selamanya aku harus ngajak kamu ngamen terus nih. Mereka suka caraku ngamen tadi. Hahaha.”
“Jadi, apa judulnya?” Aku menghentikan tawanya. Kali ini aku benar-benar serius bertanya. Dan kurasa saat itu adalah ekspresi terserius yang pernah kumunculkan saat mengobrol dengannya—apalagi untuk urusan sebuah judul lagu! Siapa tahu kan, dia enggan menjawab karena dikira aku kurang serius bertanya.
“Judul apanya?”
“Judul lagu tadi. Jangan bilang kalau belum ada judul lagi.”
“Lalu kujawab apa?”
“Ya jawab aja pertanyaanku dengan benar. Nggak mbayar juga kok.”
“Hm, baiklah.”
Kata-kata itu menyulap perhatianku. Tumben sekali dia menjawabnya dengan cepat. Aku semakin tidak sabar menanti kalimat selanjutnya. Dia tampak serius sekali. Aku jadi yakin kalau kali ini dia tidak akan mempermainkanku lagi. Kujamin 100% deh!
Lucunya, aku juga ikut-ikutan menarik nafas dalam-dalam seperti yang dilakukannya. Lalu, menghembuskannya pelan—kemudian dia tahan pada tiga detik helaan nafas terakhir. Dia menoleh padaku.
“Belum ada judul.”
Ah, seketika itu pula, aku langsung mengayunkan tas selempangku padanya.

By Maretha R

Jumat, 09 September 2011

Lilin Kecil : Sebuah Harapan untuk Maju


1


Suara-suara itu masih membahana. Terik matahari terpecah seketika saat suara-suara itu mendominasi. Hari itu adalah hari ketujuh sejak awal masuk semester baru bagi anak sekolahan—termasuk untuk yang SMA. Jalan yang jika hari-hari biasa penuh dengan lalu-lalang mobil dan para pejalan kaki yang hendak ke pasar dan supermarket—atau bahkan memang sengaja untuk jalan-jalan mencari tempat makan demi memenuhi panggilan perut.
Kali ini tidak. Jalan yang terbentang dikuasai oleh pelajar dari dua sekolah yang berbeda. Seragam putih abu-abu mereka mengesankan bahwa pada jam-jam segitu pastilah baru saja pulang sekolah. Tas yang awalnya sebagai tempat isi beberapa buku dan alat tulis kini berfungsi ganda. Sebuah pukulan melayang dari seorang—bahkan beberapa pelajar yang menyulap tas mereka layaknya sarung tinju.
Keriuhan dan sorak-sorai terdengar disana-sini. Beberapa warga awam yang kebetulan lewat—mengurungkan niatnya. Mereka akan jauh lebih baik menyingkir dan menahan perut mereka untuk memutar demi mencari tempat makan yang lain. Teriakan dari masyarakat awam semakin menambah keramaian disana.
Aku—sebagai salah satu orang yang terlibat disana masih gigih mempertahankan posisiku. Eits, tunggu dulu! Aku bukan masyarakat awam yang kalian sangka—apalagi orang yang keburu menahan rasa laparnya demi tidak jadi makan di rumah makan sepanjang jalan sana. Aku adalah orang yang salah satunya membuat keributan dan ketidakjelasan itu terjadi.
Yoga—salah seorang temanku yang sama-sama dari satu SMA denganku. Sesekali aku mengawasi kehadirannya—aku merasa lega ketika dia begitu lincah menghindari setiap lawan yang dihadapinya. Bahkan—ia dengan begitu lihai melindungi gitar yang dibawanya. Ah, bagiku—gitar tersebut sebenarnya bisa menjadi alat pukul untuk punggung—atau bisa saja sebagai pembelamu dengan menyerang dagu lawan dengan ujung gitar.
Suasana memuncak ketika pihak lawan mengeluarkan sebilah pisau lipat. Lawan tersebut adalah orang yang kini kuhadapi. Aku tergelak sekejap. Langkahku mundur beberapa langkah; menghindari dengan mencari strategi lain. Tapi dia keburu cepat menyerangku. Seperti yang kukatakan sebelumnya—gitar yang juga kupegang akan menjadi pelindungmu dengan sangat ampuh! Aku menyulap gitar tersebut menjadi tameng ajaib. Sayang, sebagai gantinya gitar tersebut terluka pada bagian sisi. Dia tampak kesulitan mencabut pisau yang tertancap disana. Tanpa nyana—aku menendang tengkuknya dan meninju wajahnya. Dia sempoyongan seketika dan akhirnya tersungkur ke belakang.
“Ayo maju! Halah, Cuma segitu saja masih mau nggertak?”
Secepat kilat dan beruntung pendengaranku tajam—ketika angin membisikkan bahwa ada sebuah sayatan yang membelah udara yang tertuju ke arahku. Aku mengelak—lebih tepatnya ada seseorang yang membantuku. Dia adalah Yoga. Yang akhirnya melawan dia dengan segera, namun pada akhirnya ia terhantam pukulan yang melesat di perutnya.
“Yoga!!”
“Hei!” Amarahku memuncak. Kuangkat tubuhnya dengan mencengkeram kerah bajunya dan menariknya. Tapi tidak untuk membantunya berdiri—karena seketika itu pula—aku memukul wajahya hingga berulang kali. Dia tampak kepayahan.
Ketika lawanku kepayahan—barulah aku menyapu pandangan ke sekelilingku. Keributan ini merajalela. Padahal biasanya hanya sebatas perkelaian yang terjadi antara dua SMA—tanpa melibatkan masyarakat sekalipun! Tapi untuk kali itu, aku melihat ada seorang anak kecil menangis di tengah-tengah keributan. Berniat untuk menyingkirkan anak tersebut dari serangan yang lainnya—seseorang nyaris saja merobohinya jika aku terlambat sedikit saja!
Aku mendekapnya. Tapi tangisan anak itu masih saja terdengar. Justru semakin keras.


Rabu, 22 Desember 2010

sinopsis novelku...

Takdir itu kadang tidak adil.
Namun, kadang takdir menyapa kita dengan lembut
Mereka adalah usia kanak-kanak yang harus bermain dengan takdir
Sakit hati yang mereka alami nyata
Kecemburuan itu pun nyata
Hanya lolongan minta tolong yang tercekat di kerongkongan
Air mata yang tak keluar. Membuat perasaan sakit dalam tubuh…
Racun
…...
Mereka berdua tinggal dalam satu rumah. Dalam sebuah keluarga. Namun tampak asing satu
sama lain.
Sakura dan Ryu.
Sakura sangat benci melihat bayangan punggung Ryu yang menjauh. Karena itu tanda bahwa
Ryu masih tidak peduli padanya. Sekalipun, Ryu tumpuan harapan pertolongannya, lelaki ini tak
akan peduli. Ryu tak suka perubahan…
Ketegaran Sakura membuat ia bersandiwara menjalani hidupnya. Menipu bahwa semua baik-
baik saja. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Masing-masing ingin meraih kebahagiaan dalam definisi mereka masing-masing.
Tak banyak bicara, namun sesungguhnya mereka saling membutuhkan. Hingga suatu ketika,
Tuhan memutuskan sudah saatnya ‘semua’ berubah…
Hingga takdir yang mempertemukan mereka bertiga…