2
Segerombolan burung camar terbang membumbung di
angkasa. Mereka membentuk huruf V. Kutatap langit jingga dengan hati dan fisik
yang lelah. Yoga telah pulang ke rumahnya. Jarak rumah kami tidak dekat, tapi
sejalur. Rumahku masih jauh dari tepian kota dibandingkan rumahnya.
Nyanyian antara sepatu yang beradu dengan tanah yang
becek karena hujan tadi pagi membuat semaraknya sore itu. Jika biasanya aku
masih mendengar suara jangkrik dan bunyi hewan penyambut malam lainnya
bersenandung, maka sore itu aku hanya mendengar suara mesin yang akan dimatikan
dari ujung sana. Maklumlah, daerah sekitar rumahku tengah dibangun sebuah
pabrik. Entah pabrik apa.
Namun, aku yakin kami semua tidak pernah setuju
dengan pembangunan itu. Sudah cukup bagi kami hidup dengan barang rongsok dan
sampah yang berserakan. Kini kami harus berbagi udara dengan para kontraktor
itu. Yang benar saja, hidup bersama sumber polusi sama saja setor nyawa.
“Neng Wina baru pulang?”
Aku hanya membalasnya dengan seulas senyum. Tapi
berikutnya aku melihat tingkahnya yang tengah memaksa anaknya untuk mandi
seperti menggiring kambing peliharaannya. Tentu saja anak lelakinya semakin
tidak mau menuruti. Aku hanya mengangkat kedua bahuku ketika akhirnya sang anak
itu melarikan diri dan berlari menghindar.
Aku semakin tersenyum kecut melihat pemandangan yang
tidak layak ini. Banyak warga daerah sini yang memperlakukan anak-anaknya
demikian. Ah, aku sendiri tidak tahu—mungkin saja itu bentuk cinta orang tua
pada anak-anaknya?
Ah, sial. Kakiku nyaris saja terpeleset gara-gara
meleng tadi. Akhirnya, sekarang aku harus lebih berhati-hati menyusuri jalan
menuju rumahku yang masih melewati beberapa petak rumah warga. Rumahku berada
di sudut kecil daerah pesisir pantai kota kecil—yang sebenarnya menurutku
daerah tempat tinggalku tidak pantas dikatakan desa. Lingkungan tempat
tinggalku kotor. Penuh dengan tumpukan sampah di setiap sudut.
Rumah petak yang tidak layak huni. Rumah petak yang membuat keluarga di
dalamnya kerap kali was-was ketika ada badai hujan—atau mungkin turun hujan
deras tanpa badai—namun semua itu akan fatal bagi kami. Dinding dari anyaman
bamboo membuat kami terpaksa menahan dinginnya angin ketika menerpa melalui
celah dinding. Membuat kami repot dua kali repot ketika atap tidak mampu
menahan rintikan air hujan. Dan parahnya—jalanan akan selalu becek ketika usai
hujan. Banjir? Yah, itu makanan pokok kami ketika musim hujan tiba. Diare dan gatal-gatal adalah lauknya.
Seperti tadi pagi. Hujan turun walau tanpa badai dan
deras. Tapi cukup membuat daerahku ini begitu fatal. Rute jalanan masih becek.
Busuk sampah tidak kalah menyengat. Sampah yang lembap, dan mencakup semua jenis
sampah.
Jika sebelumnya aku masih menutup hidung dan ogah
berbagi udara dengan sampah-sampah itu—kini tampaknya aku sudah mulai terbiasa.
Mau bagaimana lagi—jika tumpukan sampah itu terus mendesakmu untuk berbagi
tempat tinggal? Bukankah lambat laun dia akan menjadi tetanggamu? Huh, ayolah,”
tetangga” katamu?
Pertama kali kami kesini, tempat ini masih dapat
dikatakan layak huni. Namun beberapa tahun terakhir, karena banyaknya pabrik
yang berdiri di sekitar pemukiman ini membuat kami tidak dapat berbuat banyak.
Kami memilih diam, walau sebenarnya kami tidak setuju sama sekali. Tapi punya
hak apa kami? Yah, kalian benar. Aku dan keluargaku adalah orang perantauan.
Kami tidak mengadu nasib untuk mencari kehidupan yang lebih baik dari kampung
halaman kami. Kedua orangtuaku meninggalkan kampung halaman mereka setelah
berdebat hebat dengan orang tua dari ibuku. Saat itu usiaku masih balita, aku
masih belum mengerti. Dan nyatanya, kehidupan orang kampung macam kami inilah
yang akhirnya hanya menambah jumlah kriminalitas saja.
“Mba Winaaa…!!” Lamunanku terbuyar oleh riang suara
anak kecil dari ujung jalan. Sinar matahari sore menyorot sosok tubuhnya yang
kecil mungil. Rambut panjangnya terlihat berkilauan. Sosok yang cantik.
Ya, adikku. Baiklah, apa sebelumnya kalian mengira
aku adalah anak tunggal? Aku anak tertua benar, saudaraku hanya satu, yaitu
adik perempuanku. Tahun ini ia naik kelas
3 SD. Gadis kecilku begitu lincah dan pintar. Kadang aku menyisir
rambut hitam panjangnya ketika sore
sehabis dia mandi. Kulitnya putih. Ia tampak sangat cantik ketika mengenakan
gaun putih. Yah, itu hanya anganku memang. Dalam dunia nyata, aku belum pernah
melihatnya memakai gaun putih yang cantik. Aku pernah memimpikannya. Dan dalam anganku, dia memang
benar-benar sangat cantik.
Aku selalu tersenyum mengingat adikku yang begitu
sempurna. Tapi ketika melihat anak kecil itu berjingkrak-jingkrak senang, roma
wajahku berubah seketika. Sesuatu hal yang tidak bisa dipungkiri. Sesuatu hal
nyata yang memang harus diterima dengan lapang dada. Yah, adikku tidak selincah
seperti yang terlihat.
Dia tidak pula sesehat anak seusianya.
Dia begitu lemah. Namun, aku seringkali menganggapnya kuat. Yah, dia memiliki
kemauan yang kuat. Aku sayang
padanya.
Apakah ini perlu kuungkapkan? Aku rasa kalian begitu
paham rasa sayang
seorang kakak pada adiknya. Mungkin di lain kesempatan akan kujelaskan arti
sayangku ini.
Tia—gadis kecilku masih melambaikan tangannya padaku. Aku
tersadar akan anganku sendiri. Pada detik itulah,
semua rasa lelahku seharian ini terasa hilang. Rasa letih di kedua bahu dan
kedua kakiku lenyap seketika. Aku tersenyum membalas lambaian tangannya yang
begitu semangat menyambutku. Kukejar sosoknya yang masih berdiri disana—dengan
lincah kususuri jalanan yang becek.
Dia tertawa ketika aku memeluk tubuh mungilnya. Aku
menggelitiki tubuhnya, ia semakin tertawa menahan geli. Sekilas, aku mengangkat
tubuh mungilnya. Lalu, ia memandangku sekejap.
“Mba Wina bauuu…” Ia menutup hidungnya—entah ia
memang benar-benar mengatakan demikian atau sekeder meledekku. Balasannya, aku
semakin memeluk tubuh mungilnya dengan erat. Ia semakin menjerit acting.
“Heei,, apa yang kalian lakukan? Sudah maghrib
begini teriak-teriak!”
Alhasil, kami ditegur oleh Pak Adi—pria yang dikenal paling galak di
daerah ini. Ia memutuskan untuk duduk berselonjor di bilik rumahnya.
Pandangannya masih menatap tajam ke arah kami—seolah memang mengisyaratkan kami untuk enyah.
“Ya, ya, baiklah.” Aku menjawabnya tidak kalah
ketus. Sial, dia berhasil memanggil
kembali rasa penat dan lelah yang sempat lenyap.
Kuturunkan tubuh adikku, lalu kugandeng tangan kanan mungilnya. Walau kami
berlalu, mulutku masih komat-kamit merutukinya. Pak Adi pembawaannya memang
selalu begitu. Dia galak. Memang. Tapi kisah hidupnya tidak sebanding dengan
karakternya. Ia hidup sebatang kara. Pria itu ditinggal pergi oleh istrinya.
Anak-anaknya yang sudah sukses lupa menjenguknya. Sekilas, aku menengok ke
belakang. Itulah kebiasaannya. Ia selalu duduk menjelang Maghrib sampai Isya.
Duduk di bilik rumahnya, menghisap rokok sambil duduk berselonjor. Kata
orang—sebenarnya ia tengah menunggu seseorang. Entah siapa. Aku juga tidak tahu
bagaimana ceritanya kenapa pada waktu-waktu itu yang dipilihnya.
“Mba, tadi ada guru
Mba yang kesini lho!”
Suara adikku membuyarkan duniaku. Dia memandangku
sambil mendongakkan kepalanya. Aku mengernyitkan kedua alisku. Maka, dia yang
paham maksudku, langsung melanjutkan kalimatnya.
“Kepalanya
botak, orangnya gendut, kumisan. Kumisnya tebeeeeellll banget!”
“Pak Kirno?” Aku langsung menebak.
“Iya, betul! Dia lama lho
nungguin Mba.”
“Kamu tuh, gitu-gitu kan Om-mu juga.”
“Hehehe, kan ngetes Mba.”
“Ngapain Pak
Kirno ke rumah? Kurang kerjaan tuh orang.”
“Dia ngobrol lama Mba sama Ibu.”
Aku hanya diam. Dari cerita adikku—Pak Kirno kali ini
datang sebagai wali kelasku, bukan sebagai ikatan saudara. Walau begitu,
dibenakku masih saja sibuk menebak-nebak gerangan wali kelasku datang untuk
urusan apa. Karena biasanya wali kelasku akan datang untuk keperluan tertentu
saja. Hmm.. apa kali ini aku berbuat ulah? Aku mengingat catatan
sekolahku—rasanya aku belum ingat tingkah apa yang sampai mengundang Pak Kirno
membelakan diri ke daerah yang tidak layak huni ini.
“Koe yo piye, aku
kuwe bali mbengi nggo ko! Masih ora percaya iku pie? Bojo macam apa koe?!” 1
Langkah kami berdua berhenti tepat di halaman depan rumah
kami. Sosok yang pertama kali kami tangkap adalah siluet tubuh seorang pria
bertubuh besar. Di tangannya tergenggam sebotol minuman. Tubuhnya sempoyongan.
Kalimatnya selalu berantakan. Wajahnya memerah dan wajah orang yang setengah
sadar. Di saat itulah, aku merasakan adikku mengeratkan genggamannya di
tanganku. Aku bisa merasakan kecemasan dan ketakutan yang dialami oleh adikku.
Maka, kubalas genggamannya dengan erat. Tapi kurasa hal itu tidak cukup, justru
di saat itulah, kedua orang itu mulai berteriak lebih keras lagi. Seorang
wanita itu kalah dalam perdebatannya dan ia menangis tersedu. Pria tersebut
masih mengucapkan kata-kata kasarnya sambil sesekali menenggak minumannya.
Maka, kututup kedua telinga adikku dengan kedua telapak
tanganku. Hatiku miris melihat kejadian ini. Hatiku sakit mengingat kedua orang
itu tidak pernah berhenti bertengkar.
“Pak, koe siki arep
ming endi maning? Wes mbengi Pak,! Wes mbengi!” 2
“Aaaahhhhh....
urusan apa koe? Ngurus awakmu dhewe be koe ra becik, arep ngurus aku! Minggir,
aku rep nggolet duit! Hahahaha.” 3
Pria itu berjalan meninggalkan wanita tersebut di serambi
rumah. Langkah pria itu mendekati kami yang tidak bergeming sedari
tadi—seolah-olah memang kami datang untuk menonton pertunjukkan yang sangat
tidak membosankan itu.
“Woi, gadis-gadisku,
minggir kabeh. Kie ramamu arep nggolet duit! Okeh? Hahaha. Kae, urus biyungmu bae. Nangis bae saben
dina. Nggawe wong puyeng bae. Oke? Hahaha.” 4
Tanpa bergeser sesentipun—pria tesebut tidak kesulitan
untuk pergi. Sekilas, lengannya menyenggol lenganku. Ia pergi. Menuju ke sebuah
tempat yang menurutnya menjadi tempat mencari nafkahnya untuk kami. Tapi aku
tahu—bahwa tempatnya mencari nafkah yang dimaksudnya bukanlah uang yang halal.
Aku tahu pria itu berjudi. Aku tahu pria itu selalu mabuk-mabukkan. Tidak
pernah aku mendengar pria itu mengucapkan kata sayang dan cintanya.
Siluet tubuh seorang wanita di ujung sana membuatku
semakin sakit hati. Pria itu memang benar. Benar jika wanita itu selalu
menangis sepanjang malamnya. Tapi aku juga tahu—air mata itu bukanlah air mata
keputusasaannya. Dia adalah wanita yang tajam kata-katanya, namun aku tahu—dia
adalah wanita yang tegar. Mungkin aku bisa gila menghadapi dan hidup bersama
dengan seorang pria penjudi dan pemabok, serta dengan beban dua orang anak
perempuan. Tapi wanita itu tidak.
Ya, wanita dan pria itulah kedua orangtuaku.
Ayahku yang berantakan, dan Ibuku yang seorang pelayan
bar. Tidak buruk memang. Tapi cukup risih ketika semua orang melihat lekuk
tubuh ibumu.
Inilah keluargaku—dan hidupku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar