Jumat, 14 Oktober 2011

Lilin Kecil: Sebuah Harapan Untuk Maju




2

Segerombolan burung camar terbang membumbung di angkasa. Mereka membentuk huruf V. Kutatap langit jingga dengan hati dan fisik yang lelah. Yoga telah pulang ke rumahnya. Jarak rumah kami tidak dekat, tapi sejalur. Rumahku masih jauh dari tepian kota dibandingkan rumahnya.
Nyanyian antara sepatu yang beradu dengan tanah yang becek karena hujan tadi pagi membuat semaraknya sore itu. Jika biasanya aku masih mendengar suara jangkrik dan bunyi hewan penyambut malam lainnya bersenandung, maka sore itu aku hanya mendengar suara mesin yang akan dimatikan dari ujung sana. Maklumlah, daerah sekitar rumahku tengah dibangun sebuah pabrik. Entah pabrik apa.
Namun, aku yakin kami semua tidak pernah setuju dengan pembangunan itu. Sudah cukup bagi kami hidup dengan barang rongsok dan sampah yang berserakan. Kini kami harus berbagi udara dengan para kontraktor itu. Yang benar saja, hidup bersama sumber polusi sama saja setor nyawa.
“Neng Wina baru pulang?”
Aku hanya membalasnya dengan seulas senyum. Tapi berikutnya aku melihat tingkahnya yang tengah memaksa anaknya untuk mandi seperti menggiring kambing peliharaannya. Tentu saja anak lelakinya semakin tidak mau menuruti. Aku hanya mengangkat kedua bahuku ketika akhirnya sang anak itu melarikan diri dan berlari menghindar.
Aku semakin tersenyum kecut melihat pemandangan yang tidak layak ini. Banyak warga daerah sini yang memperlakukan anak-anaknya demikian. Ah, aku sendiri tidak tahu—mungkin saja itu bentuk cinta orang tua pada anak-anaknya?
Ah, sial. Kakiku nyaris saja terpeleset gara-gara meleng tadi. Akhirnya, sekarang aku harus lebih berhati-hati menyusuri jalan menuju rumahku yang masih melewati beberapa petak rumah warga. Rumahku berada di sudut kecil daerah pesisir pantai kota kecil—yang sebenarnya menurutku daerah tempat tinggalku tidak pantas dikatakan desa. Lingkungan tempat tinggalku kotor. Penuh dengan tumpukan sampah di setiap sudut. Rumah petak yang tidak layak huni. Rumah petak yang membuat keluarga di dalamnya kerap kali was-was ketika ada badai hujan—atau mungkin turun hujan deras tanpa badai—namun semua itu akan fatal bagi kami. Dinding dari anyaman bamboo membuat kami terpaksa menahan dinginnya angin ketika menerpa melalui celah dinding. Membuat kami repot dua kali repot ketika atap tidak mampu menahan rintikan air hujan. Dan parahnya—jalanan akan selalu becek ketika usai hujan. Banjir? Yah, itu makanan pokok kami ketika musim hujan tiba. Diare dan gatal-gatal adalah lauknya.
Seperti tadi pagi. Hujan turun walau tanpa badai dan deras. Tapi cukup membuat daerahku ini begitu fatal. Rute jalanan masih becek. Busuk sampah tidak kalah menyengat. Sampah yang lembap, dan mencakup semua jenis sampah.
Jika sebelumnya aku masih menutup hidung dan ogah berbagi udara dengan sampah-sampah itu—kini tampaknya aku sudah mulai terbiasa. Mau bagaimana lagi—jika tumpukan sampah itu terus mendesakmu untuk berbagi tempat tinggal? Bukankah lambat laun dia akan menjadi tetanggamu? Huh, ayolah,” tetangga” katamu?
Pertama kali kami kesini, tempat ini masih dapat dikatakan layak huni. Namun beberapa tahun terakhir, karena banyaknya pabrik yang berdiri di sekitar pemukiman ini membuat kami tidak dapat berbuat banyak. Kami memilih diam, walau sebenarnya kami tidak setuju sama sekali. Tapi punya hak apa kami? Yah, kalian benar. Aku dan keluargaku adalah orang perantauan. Kami tidak mengadu nasib untuk mencari kehidupan yang lebih baik dari kampung halaman kami. Kedua orangtuaku meninggalkan kampung halaman mereka setelah berdebat hebat dengan orang tua dari ibuku. Saat itu usiaku masih balita, aku masih belum mengerti. Dan nyatanya, kehidupan orang kampung macam kami inilah yang akhirnya hanya menambah jumlah kriminalitas saja.
“Mba Winaaa…!!” Lamunanku terbuyar oleh riang suara anak kecil dari ujung jalan. Sinar matahari sore menyorot sosok tubuhnya yang kecil mungil. Rambut panjangnya terlihat berkilauan. Sosok yang cantik.
Ya, adikku. Baiklah, apa sebelumnya kalian mengira aku adalah anak tunggal? Aku anak tertua benar, saudaraku hanya satu, yaitu adik perempuanku. Tahun ini ia naik kelas 3 SD. Gadis kecilku begitu lincah dan pintar. Kadang aku menyisir rambut hitam panjangnya ketika sore sehabis dia mandi. Kulitnya putih. Ia tampak sangat cantik ketika mengenakan gaun putih. Yah, itu hanya anganku memang. Dalam dunia nyata, aku belum pernah melihatnya memakai gaun putih yang cantik. Aku pernah memimpikannya. Dan dalam anganku, dia memang benar-benar sangat cantik.
Aku selalu tersenyum mengingat adikku yang begitu sempurna. Tapi ketika melihat anak kecil itu berjingkrak-jingkrak senang, roma wajahku berubah seketika. Sesuatu hal yang tidak bisa dipungkiri. Sesuatu hal nyata yang memang harus diterima dengan lapang dada. Yah, adikku tidak selincah seperti yang terlihat. Dia tidak pula sesehat anak seusianya. Dia begitu lemah. Namun, aku seringkali menganggapnya kuat. Yah, dia memiliki kemauan yang kuat. Aku sayang padanya.
Apakah ini perlu kuungkapkan? Aku rasa kalian begitu paham rasa sayang seorang kakak pada adiknya. Mungkin di lain kesempatan akan kujelaskan arti sayangku ini.
Tia—gadis kecilku masih melambaikan tangannya padaku. Aku tersadar akan anganku sendiri. Pada detik itulah, semua rasa lelahku seharian ini terasa hilang. Rasa letih di kedua bahu dan kedua kakiku lenyap seketika. Aku tersenyum membalas lambaian tangannya yang begitu semangat menyambutku. Kukejar sosoknya yang masih berdiri disana—dengan lincah kususuri jalanan yang becek.
Dia tertawa ketika aku memeluk tubuh mungilnya. Aku menggelitiki tubuhnya, ia semakin tertawa menahan geli. Sekilas, aku mengangkat tubuh mungilnya. Lalu, ia memandangku sekejap.
“Mba Wina bauuu…” Ia menutup hidungnya—entah ia memang benar-benar mengatakan demikian atau sekeder meledekku. Balasannya, aku semakin memeluk tubuh mungilnya dengan erat. Ia semakin menjerit acting.
“Heei,, apa yang kalian lakukan? Sudah maghrib begini teriak-teriak!”
Alhasil, kami ditegur oleh Pak Adi—pria yang dikenal paling galak di daerah ini. Ia memutuskan untuk duduk berselonjor di bilik rumahnya. Pandangannya masih menatap tajam ke arah kami—seolah memang mengisyaratkan kami untuk enyah.
“Ya, ya, baiklah.” Aku menjawabnya tidak kalah ketus. Sial, dia berhasil memanggil kembali rasa penat dan lelah yang sempat lenyap. Kuturunkan tubuh adikku, lalu kugandeng tangan kanan mungilnya. Walau kami berlalu, mulutku masih komat-kamit merutukinya. Pak Adi pembawaannya memang selalu begitu. Dia galak. Memang. Tapi kisah hidupnya tidak sebanding dengan karakternya. Ia hidup sebatang kara. Pria itu ditinggal pergi oleh istrinya. Anak-anaknya yang sudah sukses lupa menjenguknya. Sekilas, aku menengok ke belakang. Itulah kebiasaannya. Ia selalu duduk menjelang Maghrib sampai Isya. Duduk di bilik rumahnya, menghisap rokok sambil duduk berselonjor. Kata orang—sebenarnya ia tengah menunggu seseorang. Entah siapa. Aku juga tidak tahu bagaimana ceritanya kenapa pada waktu-waktu itu yang dipilihnya.
“Mba, tadi ada guru Mba yang kesini lho!”
Suara adikku membuyarkan duniaku. Dia memandangku sambil mendongakkan kepalanya. Aku mengernyitkan kedua alisku. Maka, dia yang paham maksudku, langsung melanjutkan kalimatnya.
Kepalanya botak, orangnya gendut, kumisan. Kumisnya tebeeeeellll banget!”
“Pak Kirno?” Aku langsung menebak.
“Iya, betul! Dia lama lho nungguin Mba.”
“Kamu tuh, gitu-gitu kan Om-mu juga.”
“Hehehe, kan ngetes Mba.”
“Ngapain Pak Kirno ke rumah? Kurang kerjaan tuh orang.”
“Dia ngobrol lama Mba sama Ibu.”
Aku hanya diam. Dari cerita adikku—Pak Kirno kali ini datang sebagai wali kelasku, bukan sebagai ikatan saudara. Walau begitu, dibenakku masih saja sibuk menebak-nebak gerangan wali kelasku datang untuk urusan apa. Karena biasanya wali kelasku akan datang untuk keperluan tertentu saja. Hmm.. apa kali ini aku berbuat ulah? Aku mengingat catatan sekolahku—rasanya aku belum ingat tingkah apa yang sampai mengundang Pak Kirno membelakan diri ke daerah yang tidak layak huni ini.
Koe yo piye, aku kuwe bali mbengi nggo ko! Masih ora percaya iku pie? Bojo macam apa koe?!” 1
Langkah kami berdua berhenti tepat di halaman depan rumah kami. Sosok yang pertama kali kami tangkap adalah siluet tubuh seorang pria bertubuh besar. Di tangannya tergenggam sebotol minuman. Tubuhnya sempoyongan. Kalimatnya selalu berantakan. Wajahnya memerah dan wajah orang yang setengah sadar. Di saat itulah, aku merasakan adikku mengeratkan genggamannya di tanganku. Aku bisa merasakan kecemasan dan ketakutan yang dialami oleh adikku. Maka, kubalas genggamannya dengan erat. Tapi kurasa hal itu tidak cukup, justru di saat itulah, kedua orang itu mulai berteriak lebih keras lagi. Seorang wanita itu kalah dalam perdebatannya dan ia menangis tersedu. Pria tersebut masih mengucapkan kata-kata kasarnya sambil sesekali menenggak minumannya.
Maka, kututup kedua telinga adikku dengan kedua telapak tanganku. Hatiku miris melihat kejadian ini. Hatiku sakit mengingat kedua orang itu tidak pernah berhenti bertengkar.
Pak, koe siki arep ming endi maning? Wes mbengi Pak,! Wes mbengi!” 2
Aaaahhhhh.... urusan apa koe? Ngurus awakmu dhewe be koe ra becik, arep ngurus aku! Minggir, aku rep nggolet duit! Hahahaha.3
Pria itu berjalan meninggalkan wanita tersebut di serambi rumah. Langkah pria itu mendekati kami yang tidak bergeming sedari tadi—seolah-olah memang kami datang untuk menonton pertunjukkan yang sangat tidak membosankan itu.
Woi, gadis-gadisku, minggir kabeh. Kie ramamu arep nggolet duit! Okeh? Hahaha. Kae, urus biyungmu bae. Nangis bae saben dina. Nggawe wong puyeng bae. Oke? Hahaha.” 4
Tanpa bergeser sesentipun—pria tesebut tidak kesulitan untuk pergi. Sekilas, lengannya menyenggol lenganku. Ia pergi. Menuju ke sebuah tempat yang menurutnya menjadi tempat mencari nafkahnya untuk kami. Tapi aku tahu—bahwa tempatnya mencari nafkah yang dimaksudnya bukanlah uang yang halal. Aku tahu pria itu berjudi. Aku tahu pria itu selalu mabuk-mabukkan. Tidak pernah aku mendengar pria itu mengucapkan kata sayang dan cintanya.
Siluet tubuh seorang wanita di ujung sana membuatku semakin sakit hati. Pria itu memang benar. Benar jika wanita itu selalu menangis sepanjang malamnya. Tapi aku juga tahu—air mata itu bukanlah air mata keputusasaannya. Dia adalah wanita yang tajam kata-katanya, namun aku tahu—dia adalah wanita yang tegar. Mungkin aku bisa gila menghadapi dan hidup bersama dengan seorang pria penjudi dan pemabok, serta dengan beban dua orang anak perempuan. Tapi wanita itu tidak.
Ya, wanita dan pria itulah kedua orangtuaku.
Ayahku yang berantakan, dan Ibuku yang seorang pelayan bar. Tidak buruk memang. Tapi cukup risih ketika semua orang melihat lekuk tubuh ibumu.
Inilah keluargaku—dan hidupku.

Tidak ada komentar: